KETIKA MEREKA BEKERJA DI MALAM HARI, KITA MASIH TERUS DIADU: CERITA YANG LAHIR DARI TANAH YANG BELUM MERDEKA
Di sebuah ruang rapat ber-AC di Jakarta, sekelompok profesor dan analis berkumpul mengelilingi peta besar Papua. Lampu-lampu kantor masih menyala meski malam sudah dalam. Mereka memetakan wilayah, mengukur risiko, membahas strategi, dan menyusun laporan setebal buku sejarah. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan yang mereka anggap krusial:
“bagaimana mempertahankan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Mereka bekerja dengan tenang.
Dengan data.
Dengan anggaran.
Dengan akses kekuasaan.
Sementara itu, di tanah Papua — tanah yang warnanya lebih tua daripada Republik itu sendiri — cerita lain sedang berlangsung.
PAPUA: TANAH YANG TERUS DIADU, TERUS DIKURAS, TERUS DIJAGA AGAR TIDAK SOLID
Di lembah, pesisir, dan kota-kota kecil, kita masih sering melihat luka yang seakan-akan dibuat untuk tidak pernah sembuh. Bukan karena orang Papua tidak mampu bersatu — tapi karena ada kekuatan besar yang selalu menjaga agar kita tidak benar-benar kompak.
Konflik kecil diperbesar.
Perbedaan marga dibenturkan.
Anak-anak muda diseret dalam politik uang.
Tanah adat dipotong-potong menjadi proyek.
Dan konflik horisontal dibiarkan tumbuh dengan senyum terselubung.
Di saat profesor-profesor itu membahas strategi mempertahankan Papua, kita justru didorong untuk saling curiga, saling maki, saling sikut.
Seorang pemuda di Waghete pernah berkata dengan suara pelan,
“Orang luar susun Papua dengan pena. Kita sesama Papua saling tikam dengan parang.”
Kalimat itu terasa seperti hujan pertama setelah musim kering: jernih, tapi menyakitkan.
Dua Realitas yang Bertolak Belakang
Di pusat kekuasaan:
• Diskusi tentang keamanan, ekonomi, dan geopolitik.
• Analisa tentang cara mengikat Papua dalam struktur negara.
• Rapat-rapat malam yang membahas masa depan tanpa orang Papua hadir di meja.
Di tanah Papua:
• Pemuda terpecah karena kepentingan elite.
• Marga retak karena garis kekuasaan.
• Rakyat dihimpit perusahaan, aparat, dan politik.
• Martabat bangsa , Mee, Dani, Amungme, Biak, Asmat—diringkus dan lainnya dalam narasi “pembangunan.”
PERTANYAAN BESAR YANG SELALU DIHINDARI: MENGAPA PAPUA TIDAK BOLEH SOLID?
Jawabannya sederhana sekaligus tajam:
Karena Papua yang bersatu adalah Papua yang kuat.
Dan Papua yang kuat adalah Papua yang berbahaya bagi mereka yang ingin mempertahankan kendali.
Karena itulah kita diadu.
Dipisahkan.
Dibuat sibuk dengan konflik kecil.
Sibuk dengan perebutan jabatan, dana proyek, dan peran simbolis.
Sibuk saling menjatuhkan sementara tanah leluhur kita diambil sedikit demi sedikit.
Orang Jawa bilang “djancok.”
Tapi kali ini bukan untuk lucu-lucuan.
Ini ekspresi muak terhadap pola jelas yang terus berulang.
MEREKA MENJAGA PAPUA DALAM PETA. KITA MENJAGA PAPUA DALAM DARAH.
Perbedaan paling besar adalah ini:
Para profesor itu bekerja untuk sebuah konsep bernama “NKRI.”
Tapi orang Papua menjaga tanah ini karena itu identitas, roh, dan tulang belulang leluhur.
Papua bagi mereka adalah wilayah.
Papua bagi kita adalah negeri.
Negeri yang belum pernah benar-benar merdeka.
Seorang mama dari Intan Jaya pernah berkata,
“Mereka pikir tanah ini cuma warna di peta. Tapi ini tempat kami kubur keluarga.”
Dan kalimat itu lebih berat daripada ribuan halaman kajian pemerintah pusat.
JIKA PAPUA INGIN MERDEKA, IA HARUS MERDEKA DARI PERPECAHAN TERLEBIH DAHULU
Sebelum bicara referendum, politik, atau diplomasi internasional — kita harus merdeka dari hal-hal yang mengikat kaki kita sendiri:
– merdeka dari kebencian antar-marga
– merdeka dari perebutan jabatan yang kecil
– merdeka dari provokasi yang datang dari luar
– merdeka dari mental “asal dapat bagian”
– merdeka dari perang sesama Papua yang melemahkan kita
Bangsa tidak mungkin merdeka kalau anak-anak bangsanya masih sibuk saling membunuh demi kepentingan yang tidak ada nilainya bagi masa depan.
Persatuan adalah syarat.
Dan itu bukan slogan — itu fondasi.
PERTANYAAN TERAKHIR, YANG HANYA BISA DIJAWAB OLEH KITA SENDIRI
Jika mereka bekerja setiap malam memikirkan cara mempertahankan Papua,
kapan kita mulai bekerja memikirkan cara menyelamatkan masa depan bangsa Papua?
Kapan kita berhenti menjadi alat permainan?
Kapan kita berhenti menjadi penonton atas kerusakan diri sendiri?
Kapan kita memilih bersatu dan bukan terpecah?
Sebab merdeka bukan dimulai dari deklarasi.
Merdeka dimulai dari kesadaran.
Dan kesadaran itu hanya lahir ketika bangsa Papua melihat dirinya sendiri dan berkata:
“Sudah cukup. Kini kita berdiri sebagai satu bangsa.”
Takapabii Doo