Tragedi Biak Berdarah 6 Juli 1998: Luka Kolektif Bangsa Papua
Mumbai
Ahmedabad
TOWER BIAK, sebuah menara air tua yang menjulang di jantung Kota Biak, Papua, menjadi saksi bisu salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam dalam sejarah perjuangan rakyat Papua. Pada pagi hari tanggal 6 Juli 1998, bendera Bintang Kejora berkibar megah di atas menara ini—bukan sekadar simbol, tetapi bentuk ekspresi damai rakyat Papua dalam memperjuangkan identitas dan hak politik mereka.
Namun, apa yang menyusul bukanlah dialog atau ruang demokratis. Sebaliknya, tragedi berdarah terjadi.
Awal Mula Aksi Damai
Sejak 2 Juli 1998, puluhan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak, melakukan aksi damai dengan menduduki menara air di tengah kota Biak. Mereka membawa bendera Bintang Kejora, menyampaikan orasi-orasi damai, dan menyerukan kemerdekaan Papua. Tidak ada kekerasan, tidak ada senjata. Mereka hanya membawa harapan dan keyakinan pada aspirasi mereka.
Namun ketegangan terus meningkat seiring hari. Pemerintah pusat dan aparat keamanan tidak menunjukkan itikad dialog. Warga tetap bertahan di menara, sebagian besar dari mereka berkemah di sekitar lokasi tersebut.
Serangan Militer dan Tragedi Kemanusiaan
Pagi buta pada tanggal 6 Juli 1998, aparat gabungan TNI dan Polri dilaporkan menggempur lokasi aksi. Tembakan dilepaskan, pemukulan brutal dilakukan, dan penangkapan besar-besaran terjadi. Warga sipil yang tengah tertidur atau berdoa, ditarik secara paksa dari sekitar menara dan dipukuli.
Banyak yang hilang. Banyak pula yang kemudian ditemukan tewas dengan luka-luka mengenaskan. Mayat-mayat dikabarkan ditemukan mengambang di laut sekitar Pulau Biak, dan sebagian besar tidak pernah diidentifikasi.
Laporan saksi mata dan kelompok HAM menyebutkan bahwa korban jiwa bisa mencapai lebih dari 100 orang, meskipun hingga kini tidak ada pengakuan resmi dari negara. Tidak ada proses hukum yang transparan, dan para pelaku kekerasan tidak pernah dibawa ke pengadilan.
Jejak Luka dan Perlawanan
Peristiwa Biak Berdarah bukan hanya soal pelanggaran HAM, tetapi juga simbol pembungkaman terhadap aspirasi rakyat Papua. Menara air di Biak kini menjadi lambang perjuangan dan sekaligus luka kolektif. Setiap tahun, rakyat Papua memperingati tanggal ini dengan duka, doa, dan pengharapan.
Bendera Bintang Kejora yang berkibar di atas menara pada hari itu menjadi simbol perlawanan dan keberanian. Ia mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukanlah sekadar narasi hukum dan politik, tetapi juga tentang martabat, hak untuk didengar, dan ruang untuk menentukan nasib sendiri.
Refleksi: Mengapa Kita Harus Ingat Biak Berdarah?
Tragedi ini adalah panggilan nurani bagi bangsa Indonesia dan dunia internasional: bahwa keadilan dan hak asasi manusia tidak boleh tunduk pada kekuasaan dan represi. Biak Berdarah adalah sejarah yang tidak boleh dilupakan.
Mengabaikan kisah ini berarti membiarkan luka tetap menganga. Mengingatnya adalah bentuk penghormatan kepada mereka yang gugur dan mereka yang masih hidup dalam trauma hingga hari ini.
Penutup
Biak Berdarah 6 Juli 1998 adalah pengingat keras tentang pentingnya membuka ruang demokrasi yang sejati, tanpa kekerasan. Di balik menara Biak dan bendera Bintang Kejora yang sempat berkibar di atasnya, ada harapan dan jeritan yang tak boleh kita diamkan.
"TOWER BIAK bukan sekadar beton—ia adalah monumen bisu yang menyimpan air mata dan darah rakyat Papua."
***