ZoyaPatel

Orang tua modern sering terjebak pada dilema: harus lebih longgar agar anak kreatif, atau lebih keras agar anak disiplin?

Mumbai
Pertentangan ini seolah klasik, tetapi Immanuel Kant sejak abad ke-18 sudah memberikan jawaban tajam. Fakta menariknya, dalam karyanya Über Pädagogik (1803), Kant menegaskan bahwa anak yang tidak pernah dilatih disiplin sejak dini akan tumbuh liar, seperti tanaman yang tidak pernah dipangkas. Ia bahkan berpendapat, pendidikan tanpa disiplin justru menciptakan generasi yang tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Kehidupan sehari-hari kita memberikan banyak contoh nyata. Seorang anak yang terbiasa menunda pekerjaan rumah karena tidak ada aturan tegas, akan terbawa hingga dewasa menjadi pekerja yang suka menunda tanggung jawab. Sebaliknya, anak yang terbiasa bangun pagi dan mengikuti rutinitas meski sederhana, akan lebih tahan menghadapi tekanan ketika dewasa. Pandangan Kant memberi kita kerangka untuk melihat bahwa disiplin bukan sekadar hukuman, melainkan jalan membentuk manusia yang benar-benar bebas.

1. Disiplin sebagai dasar kebebasan

Menurut Kant, disiplin bukan untuk mengekang, tetapi untuk membebaskan. Dalam Über Pädagogik, ia menulis bahwa anak yang tidak dididik dengan disiplin akan diperbudak oleh nafsunya sendiri. Kebebasan sejati justru lahir dari kemampuan menahan diri. Misalnya, seorang anak yang disiplin mengatur waktu belajar dan bermain akan lebih mampu menentukan arah hidupnya sendiri, dibanding anak yang dibiarkan bebas tanpa batasan.

Di kehidupan nyata, hal ini bisa dilihat ketika remaja yang terbiasa memiliki jam tidur teratur lebih jarang jatuh ke dalam kebiasaan buruk seperti kecanduan gawai larut malam. Orang tua yang melatih disiplin bukan sedang membatasi pilihan anak, melainkan melatih mereka agar kelak mampu membuat pilihan yang lebih bijak.

Mungkin banyak orang mengira kebebasan berarti melakukan apa pun sesuka hati. Kant justru menolak pandangan itu. Kebebasan tanpa disiplin hanyalah ilusi, dan ujungnya perbudakan oleh keinginan. Anak yang disiplin justru akan tumbuh menjadi manusia yang tahu mengatur dirinya, bukan dikendalikan keadaan.

2. Latihan menahan diri sejak dini

Kant menekankan bahwa anak harus belajar menahan diri dari keinginan instan. Jika sejak kecil seorang anak selalu dipenuhi semua permintaannya, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang lemah dalam menghadapi kesulitan. Latihan sederhana seperti menunggu giliran berbicara atau menahan diri untuk tidak langsung membuka hadiah adalah bentuk awal disiplin yang membentuk karakter.

Kita bisa melihat betapa anak-anak yang terbiasa dengan segala kemudahan sering kali kesulitan menghadapi frustrasi ketika dewasa. Mereka mudah marah saat gagal, tidak tahan menghadapi kritik, bahkan lari dari tanggung jawab. Di sisi lain, anak yang dilatih bersabar sejak kecil cenderung lebih kuat menghadapi tekanan sosial.

Pola sederhana ini menunjukkan betapa pentingnya orang tua membangun rutinitas yang mengajarkan kontrol diri. Kant percaya, kebiasaan menahan diri inilah yang menjadi dasar moralitas dan kemampuan berpikir dewasa.

3. Hukuman sebagai koreksi, bukan balas dendam

Dalam Über Pädagogik, Kant membedakan antara hukuman yang mendidik dan hukuman yang melukai. Baginya, hukuman bukan untuk melampiaskan emosi orang tua, tetapi untuk memberi sinyal jelas bahwa tindakan anak memiliki konsekuensi. Hukuman yang baik harus proporsional, adil, dan mendidik.

Contoh mudahnya, ketika anak berbohong, orang tua bisa membatasi hak istimewanya sementara waktu, bukan memukul atau merendahkannya. Dengan cara ini, anak belajar bahwa perbuatannya salah sekaligus memahami hubungan sebab-akibat.

Di era modern, banyak orang tua salah kaprah: ada yang terlalu keras hingga anak trauma, ada pula yang terlalu lembek hingga anak merasa tidak ada konsekuensi. Kant memberi jalan tengah yang lebih sehat: disiplin dengan tujuan moral, bukan sekadar penaklukan.

4. Pendidikan moral melalui disiplin

Kant menilai disiplin sebagai gerbang menuju moralitas. Anak yang tidak terbiasa dengan aturan tidak akan bisa memahami konsep kewajiban. Ia hanya akan mengejar kesenangan pribadi tanpa mempertimbangkan dampak pada orang lain. Moral, menurut Kant, lahir dari kebiasaan mengendalikan diri yang dilatih sejak dini.

Dalam keseharian, kita bisa melihat ini ketika anak belajar aturan sederhana seperti tidak menyela orang berbicara atau merapikan mainan sendiri. Hal-hal kecil itu melatih mereka memahami bahwa hidup bersama orang lain menuntut aturan.

Menariknya, Kant percaya bahwa pendidikan moral tidak bisa hanya lewat teori, melainkan harus lewat latihan nyata dalam disiplin. Anak tidak cukup diberi nasihat, tetapi harus mengalami keteraturan sehari-hari untuk benar-benar memahaminya.

5. Disiplin membangun karakter otonom

Bagi Kant, tujuan akhir disiplin bukan kepatuhan buta, melainkan otonomi. Anak harus belajar bahwa aturan ada untuk kebaikan dirinya, bukan hanya karena orang tua memerintahkan. Inilah mengapa Kant menekankan perlunya dialog dalam mendidik anak, bukan sekadar perintah sepihak.

Misalnya, ketika anak diminta belajar, orang tua bisa menjelaskan mengapa belajar penting untuk masa depan, bukan sekadar berkata “karena Mama bilang begitu.” Dengan cara ini, anak tidak hanya patuh, tetapi memahami alasan moral di balik aturan.

Dalam praktiknya, anak yang tumbuh dengan pola ini cenderung lebih bertanggung jawab. Ia belajar melihat aturan sebagai bagian dari hidupnya sendiri, bukan beban yang dipaksakan. Dengan begitu, disiplin melahirkan pribadi yang benar-benar mandiri.

6. Disiplin sebagai perlindungan dari kemalasan

Kant menyebut kemalasan sebagai musuh besar manusia. Anak yang tidak dibiasakan disiplin akan mudah jatuh dalam kebiasaan menunda dan enggan bekerja keras. Melalui rutinitas teratur, anak belajar bahwa usaha adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan.

Seorang siswa yang terbiasa disiplin membaca setiap malam meski hanya beberapa halaman akan memiliki daya tahan belajar yang jauh lebih baik ketimbang yang belajar mendadak saat ujian. Disiplin kecil yang konsisten jauh lebih berharga daripada kerja keras yang sporadis.

Di sini kita melihat betapa pentingnya membangun kebiasaan sehari-hari. Kant percaya bahwa melawan kemalasan bukanlah perkara motivasi sesaat, melainkan latihan disiplin yang berulang.

7. Keseimbangan antara kasih sayang dan ketegasan

Kant menegaskan bahwa disiplin tidak boleh dilepaskan dari kasih sayang. Anak yang hanya menerima ketegasan tanpa cinta akan tumbuh menjadi pribadi kaku, sementara anak yang hanya menerima cinta tanpa aturan akan tumbuh manja. Pendidikan yang seimbang justru lahir dari kombinasi keduanya.

Keseharian kita sering memberi contoh jelas: orang tua yang mampu mendengarkan curhat anak remajanya sambil tetap menegaskan batasan jam malam biasanya lebih dihormati dibanding orang tua yang hanya melarang tanpa memberi ruang komunikasi. Disiplin yang manusiawi justru memperkuat ikatan emosional, bukan merusaknya.

Kant mengingatkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya. Artinya, disiplin harus selalu dibungkus dalam relasi kasih sayang, bukan sekadar aturan kaku. Di titik ini, pendidikan menjadi seni, bukan sekadar teknik.

Pemikiran Kant tentang disiplin anak menantang cara kita mendidik hari ini. Ia menolak pola bebas tanpa batasan, tetapi juga menolak kekerasan buta. Baginya, disiplin adalah seni membentuk kebebasan sejati.

Apa menurutmu, orang tua masa kini lebih sering terlalu longgar atau terlalu keras pada anak?
Ahmedabad