ZoyaPatel

Sensor, Blokir, dan Perlawanan Online di Papua

Mumbai

 


Internet sebagai Medan Pertarungan

Papua bukan hanya medan konflik politik dan militer, tetapi juga medan pertarungan digital. Internet yang seharusnya menjadi ruang komunikasi bebas, sering kali berubah menjadi instrumen kontrol. Setiap kali muncul gelombang demonstrasi, isu rasisme, atau perlawanan rakyat, akses internet di Papua kerap melambat bahkan terputus total.

Pemutusan jaringan ini pernah terjadi pada Agustus–September 2019, ketika ribuan orang turun ke jalan menolak rasisme dan menuntut keadilan. Pemerintah berdalih pemblokiran dilakukan untuk mencegah penyebaran hoaks. Namun faktanya, yang terbungkam bukanlah hoaks, melainkan suara rakyat, jurnalis, dan aktivis yang berusaha menyampaikan kebenaran dari lapangan.

 

Sensor dan Blokir: Kolonialisme Digital

Di Papua, kontrol internet telah menjelma menjadi bentuk baru kolonialisme: kolonialisme digital. Negara tidak hanya menguasai tanah dan sumber daya alam, tetapi juga mengendalikan narasi.

Praktik ini terlihat dari:

  • Pemblokiran internet 2019 yang dinyatakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai tindakan melanggar hukum.
  • Pemantauan media sosial: banyak aktivis Papua mengalami pemblokiran akun atau serangan digital.
  • Stigmatisasi informasi: laporan pelanggaran HAM sering dicap hoaks atau propaganda separatis, meski didukung bukti lapangan.

Dengan begitu, ruang digital di Papua sering kali tidak netral, melainkan dikuasai oleh logika keamanan negara.

Perlawanan Online yang Kreatif

Namun, setiap represi melahirkan perlawanan. Warga Papua menemukan cara-cara baru untuk menembus tembok sensor:

  • VPN dan teknologi alternatif digunakan untuk tetap bisa mengakses internet.
  • Jurnalisme warga merekam peristiwa lapangan lalu membagikannya melalui jaringan diaspora Papua di luar negeri.
  • Kampanye global, seperti “Papuan Lives Matter”, berhasil menarik solidaritas internasional dengan mengikuti pola gerakan Black Lives Matter.
  • Seni digital dalam bentuk puisi, musik rap, mural, dan meme politik menyebar luas di media sosial, menjadi bentuk perlawanan yang kreatif sekaligus sulit dibungkam.

      

 Jejak Digital yang Tak Bisa Dihapus

Yang paling penting, setiap unggahan, foto, atau video yang sempat keluar dari Papua akan tetap hidup di dunia maya. Sekalipun akun diblokir atau situs ditutup, arsip digital akan terus tersimpan dan menjadi bukti sejarah. Jejak digital ini pada akhirnya akan menjadidokumen penting tentang bagaimana Papua mengalami represi sekaligus melawan di era kolonialisme digital.

 

Sensor dan blokir internet di Papua mencerminkan bagaimana kontrol informasi dijadikan senjata politik. Namun, rakyat Papua menunjukkan bahwa kreativitas dan solidaritas bisa menembus batas sensor. Perlawanan digital menjadi bagian dari perjuangan panjang untuk suara yang merdeka: bahwa kebenaran tidak bisa selamanya dibungkam

 

***

Ahmedabad