Opini: Menghapus Labelisasi dan Kriminalisasi terhadap Orang Papua
Mumbai
Ahmedabad
Dalam kehidupan sehari-hari di Tanah Papua, seringkali masyarakat dihadapkan pada situasi yang menyudutkan. Kecelakaan lalu lintas, konflik keluarga, atau pertikaian antarwarga kerap diberi label berlebihan—bahkan dicap sebagai tindakan kriminal terorganisir, seperti begal. Lebih jauh lagi, penampilan fisik masyarakat Papua, seperti rambut gimbal, brewok, atau penggunaan kalung manik-manik dan bunga anggrek, sering distigma sebagai identitas politik tertentu, bahkan diasosiasikan dengan TPNPB-OPM. Labelisasi semacam ini tidak hanya keliru, tetapi juga sangat berbahaya karena membuka ruang kriminalisasi tanpa dasar.
Penegakan hukum seharusnya berdiri di atas prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, bukan pada prasangka dan stereotip. Mengeneralisasi penampilan dan ekspresi budaya sebagai tanda “ancaman” adalah bentuk diskriminasi yang mengikis rasa aman masyarakat Papua. Padahal, rambut gimbal atau manik-manik bukan simbol kriminalitas, melainkan bagian dari identitas dan kebanggaan budaya.
Oleh karena itu, pendekatan humanis harus ditempatkan sebagai fondasi dalam setiap kebijakan penegakan hukum di Papua. Aparat perlu mengedepankan dialog, bukan stigma. Kerja-kerja intelijen maupun laporan warga harus berdasarkan data dan fakta yang valid, bukan sekadar asumsi atau rumor yang berpotensi melahirkan korban salah tangkap.
Masyarakat Papua berhak hidup dengan tenang tanpa rasa takut dicurigai hanya karena penampilan atau kesalahpahaman situasi. Evaluasi terhadap pola penegakan hukum di Papua mutlak diperlukan agar tidak ada lagi ruang kriminalisasi atas nama keamanan. Keadilan tidak boleh tumbuh di atas luka masyarakat, melainkan harus berdiri kokoh dengan menghargai martabat setiap manusia.
***