“Cinta di Balik Seragam: Daniel & Maria di SMA Negeri 2 Waghete-Deiyai”
Bab 1: Pertemuan di Lorong Sekolah
Hari itu hujan rintik-rintik membasahi atap seng SMA Negeri 2 Waghete. Daniel Madai, siswa kelas XI IPA yang dikenal pendiam tapi pintar Matematika, duduk di bangku paling belakang. Ia sibuk menggambar peta kampungnya di buku tulis—bukan karena tugas, tapi karena rindu akan tanahnya di Kampung Dagokebo.
Tiba-tiba, suara langkah kaki cepat terdengar. Seorang siswi baru masuk ke kelas, basah karena terlambat.
“Permisi, saya Maria Pekei, murid pindahan dari SMA Paniai,” ucapnya lirih.
Daniel menoleh. Untuk pertama kalinya, matanya bertemu dengan mata Maria. Gadis itu punya mata yang teduh dan senyum yang malu-malu, tapi hangat. Sejak hari itu, Daniel tahu—ada sesuatu yang berubah dalam hatinya.
Bab 2: Diam-Diam Tapi Dalam
Maria duduk dua baris di depan Daniel. Ia pintar Biologi, aktif di organisasi OSIS, dan sering bantu guru buat dekorasi kelas. Daniel, meski cuek, sering meminjamkan penggaris atau bolpen kalau Maria lupa bawa. Kadang ia hanya pura-pura pinjam buku agar bisa sekadar bicara.
Mereka tak pernah terang-terangan bicara soal perasaan. Tapi saat kerja kelompok, atau piket bersama, ada tawa yang tumbuh, ada perhatian kecil yang menyelinap.
Maria menulis di buku hariannya: “Daniel itu tidak banyak bicara, tapi tatapannya... membuat saya tidak bisa tidur malam.”
Bab 3: Ujian dan Gosip Sekolah
Namun, di sekolah kecil seperti Waghete, gosip mudah menyebar. Beberapa teman mulai menggoda:
“Ehh... Daniel dan Maria tuh! Sudah cocok pi bikin rumah tangga, e?”
Maria tersipu, tapi Daniel hanya tersenyum.
Suatu saat, guru BK memanggil mereka berdua.
“Kalian ini masih sekolah, jangan sampai pacaran ganggu prestasi, ya.”
Mereka hanya menjawab, “Kami cuma teman, Bu.”
Tapi jauh di hati, mereka tahu: ini lebih dari sekadar teman.
Bab 4: Panggung HUT Sekolah
Saat ulang tahun sekolah, Maria diminta membaca puisi, dan Daniel menjadi pengiring gitar. Saat mereka tampil di depan semua guru dan siswa, satu baris puisi Maria membuat semua orang terdiam:
“Kepada yang diam dalam doa / yang tak pernah pergi dari mata / Aku menunggumu / bukan di hari kelulusan / tapi di hari kita kembali membangun tanah kita.”
Sorakan menggema. Daniel menunduk tersenyum, tahu bahwa puisi itu bukan hanya puisi.
Bab 5: Janji di Halaman Sekolah
Suatu sore, setelah kerja bakti sekolah, mereka duduk di bawah pohon besar di halaman.
“Nanti kalau kita lulus, kau mau kuliah di mana?” tanya Maria.
“Kalau saya bisa, saya mau ke Uncen. Tapi kalau tidak, saya akan tetap di sini, bantu mama dan bangun kebun,” kata Daniel jujur.
“Asal kamu tetap belajar, saya akan tunggu kamu. Di mana pun,” jawab Maria.
Dan di bawah langit Waghete yang biru dan tenang, mereka berjabat tangan—janji remaja sederhana, tapi tulus: akan tetap saling mendukung, meski belum tahu masa depan akan membawa ke mana.
Epilog
Cinta Daniel dan Maria bukan cinta ala film. Mereka tidak pacaran terang-terangan. Tapi mereka saling mendoakan saat ulangan, saling membantu saat piket, dan saling percaya bahwa waktu dan ilmu adalah fondasi yang lebih kuat dari sekadar rayuan.
Di SMA Waghete, mereka bukan sekadar siswa biasa. Mereka adalah simbol kecil tentang cinta yang sederhana, sopan, dan penuh harapan untuk masa depan tanah mereka sendiri.
#Cerita ini hanya fiksi
Bersambung ...
Oleh :W . abatabii kaibou Doo