Luka Pertama di Aikai Kotopa (Kisah tentang Merry Gobai)
Mumbai
Ahmedabad
Di antara kabut pagi dan dinginnya embun Aikai Kotopa, aku masih ingat dengan jelas tawa Merry Gobai. Gadis bermata sendu dari Kampung Keboo itu adalah segalanya bagiku. Ia bukan sekadar cinta pertama — tapi perasaan yang menancap paling dalam, sekaligus yang paling melukai.
Aku bertemu Merry saat kami sama-sama mengikuti pelatihan di gereja kecil pinggir danau. Ia datang dengan rok merah batik dan baju putih sederhana, tapi wajahnya membawa cahaya yang menyaingi matahari pagi di pegunungan Paniai. Suaranya lembut, seperti nyanyian lembah yang tak pernah selesai.
“Ferry Pigai, nanti kita jalan ke danau ya,” katanya suatu hari.
Aku mengangguk, dan saat itu aku merasa seluruh dunia berhenti hanya untuk kami berdua. Kami duduk di tepi air, memandang ikan-ikan kecil berenang, dan Merry memintaku janji.
“Kalau kau cinta saya, jangan tinggal saya. Apa pun yang terjadi.”
Dan aku berjanji. Sumpahku itu kuucapkan dengan hati penuh harap.
Tapi takdir tak pernah tunduk pada janji manusia.
Beberapa bulan setelah pertemuan kami, aku harus kembali ke Nabire untuk bekerja. Merry tetap di kampung, membantu keluarganya menanam ubi dan menjaga adik-adiknya. Kami chat WA, kadang melalui telepon biasa. Tapi komunikasi mulai jarang, dan rasa rindu berubah jadi kecemasan.
Suatu hari, aku pulang ke Aikai Kotopa. Dan di sanalah, aku melihat Merry... berdiri bersama seorang pria lain. Mereka tertawa — seperti dulu aku dan dia tertawa.
“Merry…” bisikku pelan.
Ia menoleh. Wajahnya terkejut. Tapi bukan rasa bersalah yang kulihat di matanya — melainkan ketegasan.
“ferry, maaf. Hidup ini tidak seperti yang kita mau. Kau janji, tapi terlalu lama.”
Katanya sederhana, tapi bagai tombak menusuk dadaku.
Aku pergi. Di jalan pulang, langit Paniai mendung, dan hujan mengguyur seperti ikut menangis untuk luka hatiku.
Kini, setiap kali aku berjalan di tepi danau Aikai Kotopa, aku masih bisa bayangkan suara Merry di angin. Ia adalah cinta pertamaku. Tapi juga luka pertama. Dan meski waktu terus berjalan, bekas itu tak pernah benar-benar hilang.
Merry Gobai — nama yang masih kusebut dalam doa, tapi tidak lagi untuk dimiliki. Hanya untuk dikenang.
> “Cinta pertama di tanah sendiri tak selalu berakhir bahagia. Kadang ia hanya datang untuk mengajarkan bahwa hati pun bisa patah di negeri yang kita cintai.”
Oleh: W. abatabii kaibaou Doo
Cerita fiksi