ZoyaPatel

Tuduhan Pasal Makar di Papua, Antara Hukum dan Kebebasan Bersuara

Mumbai


Tuduhan pasal makar yang kerap dijatuhkan kepada aktivis Papua menjadi isu yang kontroversial dan menyentuh jantung persoalan demokrasi di Indonesia. Pasal makar dalam KUHP, yang secara historis berasal dari zaman kolonial Belanda, kini dianggap oleh sebagian kalangan sebagai alat represif untuk membungkam aspirasi politik masyarakat Papua, terutama yang berkaitan dengan tuntutan referendum atau kemerdekaan.

Secara hukum, makar diartikan sebagai niat dan tindakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau memisahkan sebagian wilayah dari kedaulatan negara. Namun, dalam praktiknya, pasal ini sering digunakan terhadap aksi damai seperti demonstrasi, pengibaran bendera bintang kejora, hingga orasi politik. Banyak pihak menilai penerapan pasal makar semacam ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai instrumen HAM internasional.

Konteks Papua tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang konflik, diskriminasi, dan marginalisasi. Aspirasi sebagian orang Papua untuk menentukan nasib sendiri muncul dari rasa ketidakadilan yang sistemik. Oleh karena itu, tuduhan makar yang terburu-buru tanpa pendekatan dialog hanya akan memperburuk situasi, menciptakan trauma, dan memperkuat ketidakpercayaan terhadap negara.

Penerapan pasal makar seharusnya sangat hati-hati, dengan mempertimbangkan konteks sosial-politik dan prinsip-prinsip demokrasi. Negara perlu membedakan dengan jelas antara kekerasan bersenjata yang menimbulkan ancaman keamanan, dengan ekspresi politik damai yang seharusnya ditanggapi dengan pendekatan komunikasi, bukan kriminalisasi.

***

W. Takapabii Doo

Ahmedabad