ZoyaPatel

Enggo Sentai dan Cinta dari Paniai

Mumbai

Pertemuan di Kelas Sosiologi

Jayapura, 2019.
Langit kota itu baru saja diguyur hujan. Embun masih menggantung di dedaunan kampus Universitas Cenderawasih. Di gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Enggo Sentai duduk sendiri di kursi paling belakang ruang kuliah. Tangannya menggenggam buku catatan yang sudah mulai lusuh, namun tulisannya rapi. Ia datang pagi-pagi, seperti biasa. Bukan hanya karena dia rajin, tapi karena ia tak suka datang terlambat dan menjadi pusat perhatian.

Enggo baru semester dua. Gadis dari Sentani itu menyimpan banyak hal dalam dirinya. Ia bukan perempuan yang senang bicara panjang lebar. Tapi matanya menyimpan nyala, seperti api kecil yang tak bisa dipadamkan. Orang-orang bilang dia dingin, tapi itu karena mereka belum benar-benar mengenalnya.

Pintu kelas terbuka, dan masuklah seorang pria yang belum pernah Enggo lihat sebelumnya. Dia tinggi, kulitnya cokelat gelap mengilap, dengan ransel besar di punggung dan sepatu kotor berlumpur. Ia melihat sekeliling, tampak gugup, lalu duduk di samping Enggo.

"Maaf, kursi kosong?" tanyanya.

Enggo hanya mengangguk. Ia tidak menoleh. Tapi hatinya berdebar sedikit. Suara pria itu lembut, dan logatnya... logat gunung. Sangat khas.

"Sa baru pindah dari Nabire. Nama sa Yafet. Dari Paniai," katanya lagi, kali ini lebih pelan. Dia seperti mencoba membuka pembicaraan.

Enggo melirik sekilas. Ia menangkap senyum tulus di wajah itu. Tapi dia hanya menjawab, “Enggo. Dari Sentani.”

Sejak hari itu, Yafet dan Enggo mulai sering duduk bersebelahan. Mereka tak langsung akrab, tapi ada percakapan-percakapan kecil yang tumbuh di antara waktu-waktu kosong kuliah. Kadang soal tugas, kadang soal makanan di kantin, kadang cuma soal cuaca yang panas luar biasa.

Tapi Enggo mulai merasakan sesuatu yang berbeda.

Dia suka mendengar cara Yafet bercerita tentang danau Paniai, tentang perahu kayu yang ayahnya buat sendiri, tentang malam-malam dingin di pegunungan yang tak ada sinyal. Ia suka mendengar suara Yafet yang tenang, seolah semua beban dunia tak akan mengganggunya.

Namun, Enggo juga tahu satu hal: cinta bukan perkara mudah, apalagi di tanah Papua yang penuh batas dan garis adat.

Lanjut....

W.takapabii Doo
Ahmedabad