ZoyaPatel

Arsitektur Kekerasan Kolonial: Operasi Militer Indonesia di Papua sebagai Strategi Penjajahan Sistemik

Mumbai


Oleh : Viktor Yeimo (Juru bicara internasional, KNPB)

Kasus-kasus operasi militer di Papua menunjukkan pola yang konsisten dalam menerapkan siasat kolonial berbasis disinformasi strategis dan manipulasi hukum. Pendekatan militeristik yang diterapkan oleh negara Indonesia tidak sekadar bertujuan untuk menetralisir kekuatan bersenjata seperti Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), melainkan juga menghancurkan struktur sosial-politik rakyat sipil Papua.

Dalam narasi resmi yang dibangun oleh TNI/Polri, korban sipil hampir selalu dikonstruksikan sebagai “anggota KKB” (Kelompok Kriminal Bersenjata)—sebuah istilah elastis yang sengaja digunakan untuk mengaburkan identitas korban serta membenarkan kekerasan negara. Ini merupakan bentuk denial of truth yang sangat strategis dalam wacana perang modern.

Dalam kerangka teori perang kontemporer, taktik seperti ini tergolong dalam strategi Denial and Deception (D&D)—yakni kombinasi antara penyangkalan fakta dan penciptaan narasi palsu guna mengendalikan opini publik. Negara kolonial tidak hanya melakukan pembunuhan fisik, tetapi juga membunuh kebenaran dengan mengendalikan aliran informasi. Setiap operasi militer disusul oleh satu narasi tunggal dari institusi negara yang didistribusikan melalui media nasional dan kanal internasional sebagai “sumber resmi”, sehingga kesaksian lokal masyarakat Papua tersingkir dari ruang wacana global.

Strategi kolonial ini diperkuat dengan praktik Lawfare, yaitu penggunaan dan rekayasa perangkat hukum untuk melegitimasi tindakan kekerasan struktural. Ketika warga sipil menjadi korban penembakan, sistem hukum kolonial secara otomatis mengasumsikan bahwa korban bersalah dan aparat benar—tanpa penyelidikan independen atau akuntabilitas. Ini adalah bentuk kekebalan institusional yang dirancang untuk menjamin impunitas aparat kolonial.

Dalam konteks kolonialisme internal, hukum tidak lagi berfungsi sebagai pelindung hak rakyat, melainkan sebagai alat represif untuk mempertahankan dominasi teritorial dan politik atas Papua.

Selain kekuatan fisik dan manipulasi hukum, militer kolonial Indonesia juga mengoperasikan strategi Psychological Warfare (PsyWar) untuk menghancurkan kohesi sosial masyarakat Papua. Ketika warga sipil dapat dibunuh kapan saja dan dicap sebagai “kombatan”, maka rasa takut dan saling curiga menyebar di dalam komunitas. Tujuan utama dari taktik ini adalah menciptakan instabilitas psikologis yang melemahkan solidaritas sosial, mematahkan dukungan rakyat terhadap gerakan pembebasan, dan menormalisasi kekerasan kolonial sebagai tindakan yang “legal” dan “perlu”.

Dengan demikian, operasi militer kolonial tidak dapat dilihat sebagai sekadar “insiden” atau “operasi keamanan”. Ia adalah bagian dari strategi penjajahan yang sistemik, yang memadukan kekuatan militer, kontrol narasi, dan manipulasi hukum dalam mempertahankan dominasi atas Papua. Strategi ini tidak hanya menyasar struktur bersenjata seperti TPNPB, tetapi juga fondasi sosial rakyat sipil sebagai basis dari kedaulatan politik Papua.

Tugas kita adalah membongkar dan melawan arsitektur kolonial ini—secara analitis, politis, dan moral—agar perjuangan pembebasan tidak dibungkam oleh kebohongan yang dibungkus sebagai kebenaran negara.

***
Ahmedabad