"Pieta di Tanah Dogiyai: Kisah Martinus Tebai, Putra Altar yang Gugur"
Bab 1 – Hari Raya yang Menjadi Perpisahan
Kabut tipis masih menyelimuti pegunungan Dogiyai ketika lonceng gereja berbunyi tiga kali. Udara pagi membawa aroma tanah basah bercampur wangi bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan. Umat mulai berdatangan, beberapa berjalan kaki, sebagian naik motor, semuanya menuju Gereja St. Petrus Mauwa.
Di antara mereka, seorang remaja berusia lima belas tahun berjalan cepat dengan jubah putih terlipat rapi di tangannya. Namanya Martinus Tebai, anak kampung Mauwa, seorang misdinar yang selalu hadir setiap Minggu tanpa pernah absen. Langkahnya ringan, wajahnya tenang.
Martinus tidak pernah menjadi anak yang suka membuat masalah. Ia tidak mengenal minuman keras, tidak pernah memalak, apalagi melawan aparat. Baginya, hidup adalah sekolah, membantu keluarga, dan melayani Tuhan di altar.
Hari itu adalah Hari Raya Maria Diangkat ke Surga. Gereja dipenuhi cahaya lilin, altar dipenuhi bunga warna putih dan kuning. Pastor Fransiskus Sondegau, Pr, berdiri di depan altar, tersenyum melihat Martinus datang lebih awal.
“Kamu siap, Marti?” tanya Pastor.
“Siap, Pastor,” jawab Martinus singkat sambil tersenyum.
Ia segera mengenakan jubah putihnya. Di sakristi, ia membantu rekan-rekannya menyiapkan misale, pedupaan, dan hosti. Tangannya cekatan, gerakannya hati-hati—seolah ia tahu bahwa semua ini adalah bagian dari pelayanan yang kudus.
Ketika misa dimulai, Martinus berdiri di sisi altar, memegang pedupaan yang mengeluarkan asap harum. Cahaya lilin memantul di matanya yang berbinar. Ia mendampingi Pastor hingga akhir perayaan, mengatur semua perlengkapan dengan rapi. Tidak ada yang menyangka, pemandangan ini akan menjadi kenangan terakhir umat melihatnya melayani di altar.
Bab 2 – Malam yang Pecah oleh Peluru
Matahari sudah lama tenggelam di balik bukit ketika Martinus pulang ke rumah. Malam itu Dogiyai tampak damai, hanya suara jangkrik yang terdengar di kejauhan. Ia makan malam bersama keluarga, bercanda kecil dengan adik-adiknya, lalu keluar sebentar untuk membeli sesuatu di kios dekat Bandara Theo Makai.
Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIT. Tiba-tiba, suara tembakan meledak di udara. Suara keras itu membelah keheningan, membuat orang-orang berteriak dan berlarian mencari tempat berlindung.
Martinus terhenti sejenak, matanya mencari sumber suara. Namun sebelum ia sempat bergerak, tubuhnya tersentak. Sebuah peluru menghantamnya—peluru yang entah diarahkan kepada siapa, namun berakhir menembus tubuh seorang anak yang tidak pernah menyakiti siapa pun.
Ia jatuh tersungkur di tanah. Nafasnya terengah-engah, pandangannya mulai buram. Lampu-lampu di sekitar bandara tampak seperti bintang yang bergetar. Di tengah rasa sakit yang membakar, hanya satu hal yang muncul di pikirannya: wajah ibunya.
Bab 3 – Ratapan Seorang Ibu
Berita itu menyambar cepat. Mama Yobee, ibu Martinus, berlari tanpa alas kaki menuju lokasi. Tangannya gemetar, matanya mencari-cari anaknya. Dan di sanalah ia melihatnya—terbaring, tubuhnya dingin, darah membasahi pakaiannya.
Ia memeluk tubuh itu erat-erat, menangis dengan suara yang memecah hati siapa pun yang mendengarnya.
“Marti… bangun, Nak… Mama ada di sini…”
Air mata Mama Yobee jatuh membasahi pipi anaknya yang pucat. Ia mencoba menggenggam tangan Martinus, seakan panas tubuhnya bisa kembali jika digenggam kuat-kuat. Namun, tak ada gerak, tak ada balasan.
Orang-orang yang melihat pemandangan itu terdiam. Seorang ibu kehilangan anaknya di usia yang seharusnya masih penuh mimpi. Seorang anak altar, yang siangnya melayani Tuhan, malamnya terbujur kaku karena peluru yang tak pernah seharusnya dilepaskan.
Bab 4 – Pieta di Tanah Dogiyai
Keesokan paginya, jenazah Martinus dibawa ke Gereja St. Petrus Mauwa. Peti kayu sederhana diletakkan di depan altar yang kemarin ia layani. Lilin-lilin menyala di sekelilingnya, bau dupa kembali memenuhi ruangan. Namun kali ini, bukan doa misa yang bergema, melainkan isak tangis.
Mama Yobee duduk di samping peti, memeluknya seperti Bunda Maria memeluk tubuh Yesus dalam patung Pieta karya Michelangelo. Semua yang hadir terdiam, beberapa menutup mata, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang.
Pastor Fransiskus berdiri di dekat altar, suaranya bergetar saat berbicara.
“Kita kehilangan seorang anak yang baik. Tuhan memanggilnya terlalu cepat… Tapi ingatlah, ia pergi sebagai pelayan-Nya, seorang putra altar yang selalu setia.”
Bab 5 – Kenangan yang Tak Pernah Padam
Pemakaman dilakukan sore itu. Langit mendung, hujan gerimis turun perlahan, seperti ikut menangisi kepergian Martinus. Tanah merah menutupi peti, satu sekop demi satu sekop. Suara tangis semakin keras setiap tanah menutup wajah terakhir yang mereka lihat.
Di hati semua orang, Martinus akan selalu diingat—bukan sebagai korban semata, tapi sebagai anak yang hidupnya singkat namun bercahaya. Dan di setiap perayaan Jumat Agung, saat perhentian ke-13 Jalan Salib, wajahnya akan hadir di ingatan umat: seorang putra altar yang berpulang di pangkuan ibunya, sama seperti Sang Putra berpulang di pangkuan Bunda Maria.
**
Wempi, Takabii Doo