ZoyaPatel

Maybrat Darurat Militer: Warga Tolak Penempatan Pos Brimob di Fategomi

Mumbai


Maybrat, 27 Juli 2025 – Rencana penempatan Pos Brigade Mobil (Brimob) di Fategomi, Distrik Aitinyo Utara, Kabupaten Maybrat menuai penolakan luas dari masyarakat setempat. Kebijakan ini dinilai tidak tepat karena wilayah tersebut bukan daerah konflik dan sudah memiliki banyak pos militer aktif.

Pada Rabu, 23 Juli 2025, Bupati Maybrat Karel Murafer bersama satuan Brimob melakukan survei lokasi di terminal lama Fategomi. Survei itu bertujuan untuk menyiapkan pembangunan Pos Brimob baru di Aitinyo Utara. Brimob sendiri dikenal sebagai satuan elit kepolisian yang memiliki kemampuan dan peralatan tempur untuk menangani ancaman berintensitas tinggi, seperti terorisme, kerusuhan massa, dan kejahatan bersenjata.

Namun, masyarakat menilai bahwa Distrik Aitinyo Utara dan sekitarnya bukan wilayah konflik. Distrik ini relatif aman dan jauh dari gangguan keamanan bersenjata, sehingga penempatan Pos Brimob dianggap berlebihan. “Penambahan pos justru berpotensi memicu konflik baru dan menimbulkan kecemasan di tengah masyarakat sipil,” tegas tokoh masyarakat setempat.

Wilayah Maybrat Sudah Penuh Pos Militer

Data menunjukkan, wilayah Aitinyo yang terdiri dari lima distrik kini telah padat dengan kehadiran militer. Di Distrik Aitinyo Induk saja terdapat empat Pos TNI dan satu Polsek, masing-masing di Kampung Karsu, Subin, Irohe, Afkrem, dan Polsek Aitinyo. Sementara di distrik-distrik sekitar seperti Aitinyo Barat, Aifat Selatan, dan Susmuk, pos TNI juga tersebar hingga memanfaatkan bangunan gereja sebagai markas.

Kehadiran militer yang masif di Maybrat dituding lebih banyak untuk mengamankan kepentingan ekonomi, termasuk aktivitas penebangan kayu log, daripada melindungi masyarakat. “Satu distrik bisa sampai tiga hingga empat pos. Maybrat sudah seperti daerah operasi militer,” ujar salah satu warga.

Dampak Sosial dan Pengungsian

Kondisi serupa terjadi di berbagai wilayah Papua lainnya. Data terbaru Direktur SKPKC Papua, Pastor Heribertus Lobya, mencatat sekitar 6.000 warga sipil dari wilayah Aifat masih mengungsi sejak konflik antara TPNPB dan aparat keamanan pada 2021. Mereka tersebar di Sorong, Tambrauw, dan Bintuni. Banyak warga enggan kembali ke kampung halaman karena keberadaan pos-pos militer.

“Pendekatan militer tidak menyelesaikan masalah, malah memperparah penderitaan masyarakat,” kata Pastor Heribertus. Dampaknya, pengungsi kehilangan akses kesehatan, pendidikan, dan kehidupan sosial yang layak.

Penolakan Masyarakat

Masyarakat dan tokoh adat setempat mendesak pemerintah membatalkan rencana penempatan Pos Brimob di Fategomi. Mereka menilai kebijakan ini hanya memperburuk keadaan dan menghilangkan rasa aman. “Kami tegas menolak penempatan Pos Brimob di Fategomi. Wilayah kami bukan zona konflik,” ujar pernyataan bersama warga.


Ahmedabad