Belanda di Irian Jaya: Menelusuri Jejak Sejarah 1945–1962
Periode sejarah antara tahun 1945 hingga 1962 menjadi salah satu fase paling kompleks dan kontroversial dalam hubungan antara Indonesia, Belanda, dan wilayah yang kini dikenal sebagai Papua. Buku “Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945–1962” karya Pim Schoorl hadir sebagai jendela unik untuk memahami periode tersebut, melalui perspektif orang-orang yang berada di garis depan pemerintahan kolonial Belanda di Irian Jaya. Buku ini bukan sekadar kumpulan catatan sejarah, melainkan juga refleksi pengalaman para pegawai pemerintahan Belanda (amtenar) yang bertugas di tengah gejolak politik, sosial, dan budaya pada masa transisi yang menentukan ini.
Konteks Sejarah: Irian Jaya dalam Perebutan Kepentingan
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, perjuangan untuk mempertahankan kedaulatan tidak berhenti begitu saja. Wilayah Papua (saat itu disebut Nieuw Guinea oleh Belanda) menjadi salah satu titik panas sengketa antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda.
Belanda menolak menyerahkan wilayah ini kepada Indonesia meski pengakuan kedaulatan Indonesia telah ditegaskan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Mereka beralasan bahwa Papua memiliki karakteristik etnis, budaya, dan sejarah yang berbeda sehingga memerlukan status politik yang terpisah. Di sisi lain, pemerintah Indonesia menganggap Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya berdasarkan batas bekas Hindia Belanda.
Situasi ini memicu ketegangan diplomatik, manuver politik internasional, dan juga friksi di lapangan antara pemerintahan kolonial Belanda dengan masyarakat lokal yang mulai mengenal ide kemerdekaan. Inilah latar di mana para amtenar Belanda menjalankan tugasnya—di tengah tarik-menarik kepentingan besar yang menentukan masa depan sebuah bangsa.
Isi dan Fokus Buku
Buku ini disusun dari kumpulan makalah yang ditulis oleh para mantan pegawai administrasi kolonial Belanda yang pernah bertugas di Irian Jaya pada periode 1945–1962. Melalui tulisan mereka, pembaca diajak menelusuri kehidupan sehari-hari para birokrat kolonial, kebijakan yang mereka terapkan, serta pandangan mereka terhadap masyarakat Papua dan dinamika politik yang berkembang.
Beberapa tema penting yang diangkat dalam buku ini antara lain:
-
Administrasi dan Pemerintahan
Para penulis menggambarkan bagaimana mereka mengelola wilayah yang sangat luas dan sulit diakses, dengan infrastruktur yang terbatas. Mereka juga bercerita tentang usaha untuk membangun pelayanan publik, pendidikan, dan kesehatan, yang sering kali dipandang sebagai bagian dari “misi peradaban” Belanda. -
Interaksi dengan Masyarakat Lokal
Buku ini memberikan potret tentang hubungan antara pegawai kolonial dengan masyarakat Papua, termasuk tantangan komunikasi budaya, resistensi lokal, hingga upaya Belanda untuk membentuk identitas “Papua” yang terpisah dari Indonesia. -
Gejolak Politik
Tidak dapat dipungkiri bahwa tulisan-tulisan ini juga mencerminkan kegelisahan para amtenar terhadap perubahan politik yang sedang berlangsung. Mereka menghadapi situasi yang tidak pasti, ketika desakan internasional untuk dekolonisasi semakin menguat dan pemerintah Indonesia semakin intens menuntut integrasi Papua.
Perspektif Unik dan Nuansa Kontroversial
Salah satu kekuatan utama buku ini adalah perspektif langsung yang ditawarkan oleh para amtenar. Sebagai pelaku sejarah, mereka memberikan wawasan tentang kebijakan Belanda yang jarang terdengar dalam narasi sejarah Indonesia. Misalnya, beberapa penulis membahas program pembangunan dan modernisasi yang mereka anggap sebagai usaha untuk mempersiapkan Papua menjadi negara merdeka di luar Indonesia.
Namun, perspektif ini juga sarat kontroversi. Dari sisi Indonesia, kebijakan Belanda tersebut sering dianggap sebagai bentuk neokolonialisme yang ingin memecah belah kesatuan wilayah. Buku ini dengan demikian membuka ruang diskusi kritis: apakah langkah-langkah Belanda murni untuk kesejahteraan rakyat Papua, atau hanya strategi politik untuk mempertahankan pengaruh kolonial di Asia Tenggara?
Relevansi dan Nilai Sejarah
Bagi sejarawan, peneliti, maupun masyarakat umum yang tertarik pada sejarah Papua, buku ini menawarkan data dan pandangan yang sangat berharga. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan kolonial bekerja di tingkat administratif, serta memperkaya pemahaman tentang proses dekolonisasi yang penuh dengan kompleksitas geopolitik.
Selain itu, buku ini juga relevan untuk refleksi masa kini, ketika isu-isu tentang Papua masih menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Dengan membaca perspektif masa lalu, kita bisa lebih memahami akar sejarah dari dinamika sosial dan politik yang terjadi di Papua hingga saat ini.
Kesimpulan
“Belanda di Irian Jaya: Amtenar di Masa Penuh Gejolak 1945–1962” adalah karya yang membuka lembaran sejarah yang sering kali hanya diceritakan dari satu sisi. Meski ditulis oleh pihak Belanda, buku ini tidak hanya sekadar pembelaan kolonialisme, tetapi juga menjadi bahan penting untuk memahami berbagai lapisan realitas di Papua selama masa peralihan.
Bagi pembaca yang ingin memahami sejarah Papua secara lebih komprehensif, membaca buku ini adalah langkah awal yang baik. Ia mengajak kita melihat masa lalu bukan hitam-putih, tetapi sebagai rangkaian peristiwa dengan berbagai perspektif, kepentingan, dan konsekuensi yang masih terasa hingga kini.
***