potret Ketimpangan
Mumbai
Ahmedabad
Oleh: Roris Sarji
Saat mendengar kata "tambang", yang sering muncul di benak kita adalah gambaran tentang alat berat, gunung yang dikeruk, dan pipa-pipa panjang yang membawa lumpur dari perut bumi. Tapi sesungguhnya, tambang memiliki wajah lain—wajah yang tidak selalu tampak di permukaan, tapi menyimpan banyak cerita. Cerita tentang manusia, lingkungan, dan harapan yang saling bertautan.
Bagi banyak daerah terpencil di Indonesia, kehadiran tambang adalah harapan baru. Ia membuka lapangan kerja, menarik investasi, dan memicu pembangunan infrastruktur seperti jalan, listrik, dan sekolah.
Banyak warga lokal yang sebelumnya hidup dari bertani atau melaut, kini beralih menjadi buruh tambang. Mereka berharap mendapat penghasilan lebih baik, bisa menyekolahkan anak, dan memperbaiki kehidupan.
"Dulu saya cuma petani cengkeh, sekarang saya kerja di tambang dan bisa beli motor sendiri,"
— Dodi, buruh tambang di Halmahera Tengah.
Namun, harapan itu sering kali tidak berjalan panjang. Banyak pekerjaan di tambang bersifat sementara atau rentan, tergantung pada harga nikel dunia. Saat harga turun, PHK massal terjadi. Tambang pun bisa pergi begitu saja, meninggalkan lubang dan hutang sosial.
Meski tambang menghasilkan miliaran rupiah setiap bulan, sayangnya tidak semua orang merasakan hasilnya. Warga desa sekitar tambang sering kali tetap hidup dalam keterbatasan: jalan rusak, air kotor, dan sekolah yang minim fasilitas.