ZoyaPatel

Memahami Imperialisme: Papua dari Kekuasaan Teritorial hingga Kendali Ekonomi Global

Mumbai
Papua, sebuah tanah yang subur dan kaya akan sumber daya alam, menjadi pusat perhatian kekuatan-kekuatan besar dunia sejak berabad-abad lalu. Dari kolonialisme klasik hingga bentuk imperialisme modern, wilayah ini terus menjadi ladang rebutan demi kepentingan politik, ekonomi, dan strategi global. Apa yang tampak dalam ilustrasi—tangan-tangan asing yang berebut peta Papua—bukan sekadar simbol. Ia adalah refleksi nyata dari bagaimana Papua dijadikan medan perburuan kekuasaan oleh kekuatan luar yang tak pernah benar-benar peduli pada nasib rakyatnya.

Imperialisme dalam Sejarah Papua

Sejarah Papua adalah sejarah luka panjang. Dari penjajahan Belanda yang meninggalkan warisan penguasaan wilayah, hingga peralihan administratif yang kontroversial kepada Indonesia pada tahun 1960-an lewat Perjanjian New York dan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang masih menuai kritik hingga kini. Dalam proses tersebut, suara asli rakyat Papua dipinggirkan. Yang hadir hanyalah suara-suara diplomatik negara-negara besar seperti Amerika Serikat, yang lebih mementingkan stabilitas regional dan akses terhadap sumber daya alam, khususnya tambang emas dan tembaga raksasa yang saat ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional.

Papua dalam Cengkeraman Ekonomi Global

Kini, bentuk penjajahan itu berubah rupa. Ia tak selalu hadir dalam bentuk senjata dan tentara, tetapi dalam korporasi raksasa yang mengeruk hasil bumi Papua. Freeport, sebagai contoh paling ikonik, selama puluhan tahun menjadi simbol bagaimana sumber daya Papua dieksploitasi untuk keuntungan segelintir pihak. Sementara rakyat Papua harus bertahan dalam kondisi kemiskinan, keterbelakangan infrastruktur, dan kekerasan yang berulang.

Tidak hanya Amerika, kini Tiongkok dan kekuatan ekonomi global lainnya ikut memasuki arena. Investasi dalam sektor energi, perkebunan, dan infrastruktur sering kali datang dengan motif yang samar. Di balik janji pembangunan, tersimpan agenda penguasaan dan pengendalian. Proyek-proyek besar berdiri, tapi tidak selalu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat. Bahkan, sering kali justru menimbulkan konflik agraria dan kerusakan lingkungan.

Ketimpangan dan Kekerasan Struktural

Papua bukan hanya menjadi korban imperialisme ekonomi, tapi juga kekerasan struktural yang berakar dari diskriminasi dan marginalisasi sistematis. Kekerasan aparat, stigmatisasi terhadap orang asli Papua, hingga ketimpangan pembangunan menjadi bukti bahwa Papua bukan sekadar "wilayah", tetapi sebuah bangsa yang terus diperjuangkan eksistensinya oleh rakyatnya sendiri. Mereka yang bersuara sering kali dibungkam. Aktivis ditangkap, jurnalis dibatasi, dan rakyat sipil dipaksa hidup dalam bayang-bayang militerisasi.

Kedaulatan Rakyat Papua: Jalan Menuju Keadilan

Untuk memahami imperialisme di Papua, kita harus keluar dari kerangka narasi negara semata. Kita harus mendengarkan suara dari bawah—suara rakyat Papua, suku-suku adat, para perempuan yang menjaga tanah leluhur, pemuda yang berteriak di jalanan demi keadilan, hingga mereka yang terus menulis dan merekam tragedi yang nyaris tak terdengar oleh dunia luar.

Memahami Papua berarti memahami bahwa perjuangan mereka bukan soal separatisme, tetapi soal hak untuk hidup bermartabat di tanah sendiri. Hak untuk menentukan arah masa depan, tanpa didikte oleh kekuatan luar. Hak untuk mengelola sumber daya mereka tanpa harus tunduk pada kepentingan global.

Penutup: Menggugat Dominasi, Membangun Kesadaran

Ilustrasi tangan-tangan kekuatan asing yang berebut Papua bukan sekadar karikatur politik. Ia adalah realitas yang menuntut kita untuk bertanya: siapa yang diuntungkan oleh eksploitasi Papua? Siapa yang dirugikan? Dan apa yang bisa kita lakukan untuk berdiri bersama rakyat Papua?

Memahami imperialisme di Papua adalah langkah awal untuk menggugat ketidakadilan yang telah berlangsung terlalu lama. Kita tidak bisa terus diam ketika sebuah bangsa dirampas martabat dan masa depannya. Papua bukan tanah kosong. Ia hidup. Ia punya suara. Dan sudah waktunya dunia mendengarkan.

***
Ahmedabad