Intelijen, Para Jenderal, dan Akar Luka Papua
“Sebuah kisah panjang tentang mengapa konflik selalu diciptakan dari rahim status politik yang tak pernah tuntas”
Di tanah yang diselimuti kabut pegunungan dan kabar duka, selalu ada bunyi yang sama:
tembakan, tangisan, dan doa.
Papua seperti tak pernah tidur dari suara itu.
Setiap tahun ada operasi baru, setiap bulan ada korban baru, setiap hari ada berita tentang “penegakan hukum” yang diiringi dengan duka di rumah-rumah honai.
Namun di balik semua itu, pertanyaan yang paling sulit dijawab masih menggantung:
Mengapa konflik di Papua tidak pernah berhenti?
Dan lebih jauh lagi — siapa yang sebenarnya menciptakan dan memeliharanya?
Akar dari Luka Lama
Untuk memahami luka Papua, kita harus kembali ke tahun 1960-an, ketika dunia sedang dikuasai ketegangan Perang Dingin.
Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia bermain di papan catur politik global. Papua — yang saat itu masih bernama Netherlands New Guinea — menjadi bidak yang diperebutkan.
Di tahun 1962, terciptalah Perjanjian New York Agreement — sebuah kesepakatan antara Belanda dan Indonesia, difasilitasi PBB dan didorong keras oleh Amerika.
Namun, rakyat Papua tak pernah duduk di meja itu.
Mereka tidak diminta pendapat, tidak ditanya apakah mau bergabung dengan Indonesia atau tidak.
Lalu, tahun 1969, dunia menyaksikan apa yang disebut “Penentuan Pendapat Rakyat” (Pepera).
Tapi itu bukan referendum yang sesungguhnya.
Hanya 1.026 orang dipilih untuk mewakili lebih dari 800.000 penduduk Papua.
Mereka diancam, dipaksa, dan disuruh memilih di bawah moncong senjata.
Hasilnya diumumkan: Papua “resmi” menjadi bagian dari Indonesia.
Dunia PBB menyetujui, dan sejarah berubah dalam sekejap—tapi tidak di hati orang Papua.
Dari situlah luka itu tumbuh.
Bukan sekadar luka politik, tapi luka martabat.
Sebab rakyat Papua tahu: mereka tidak pernah memilih.
Ketika Senjata Menggantikan Dialog
Sejak hari itu, pemerintah Indonesia memperlakukan Papua bukan sebagai saudara, tapi sebagai wilayah yang harus dijaga dengan kekuatan senjata.
Rakyat yang bersuara disebut separatis.
Pemuda yang membawa bendera Bintang Kejora ditangkap, kadang disiksa, kadang tak pernah kembali.
Namun semakin ditekan, suara itu tidak padam.
Di balik gunung, di tengah hutan, di kampung-kampung kecil, rakyat terus berbicara tentang kemerdekaan dan harga diri.
Negara lalu menurunkan pasukan. Dari Sabang hingga Merauke, Papua adalah provinsi dengan jumlah militer terbanyak.
Di sana, intelijen menjadi mata dan telinga kekuasaan.
Mereka mencatat nama-nama, membangun jaringan, menanam kecurigaan, dan menciptakan konflik baru.
Permainan Para Jenderal
Bagi para jenderal di Jakarta, Papua bukan hanya persoalan keamanan, tapi juga ladang politik dan ekonomi.
Setiap operasi militer berarti anggaran besar.
Setiap laporan tentang “kelompok bersenjata” berarti peluang untuk memperpanjang operasi, menambah pasukan, dan mempertahankan posisi strategis.
Intelijen pun memainkan perannya.
Kadang mereka menciptakan konflik kecil, membiarkan pertikaian antarsuku, atau bahkan menyusup ke kelompok perlawanan.
Lalu dari konflik itu, lahirlah narasi baru: “Papua belum aman.”
Dan dari kalimat itulah, lahir lagi anggaran dan proyek keamanan baru.
Sementara di sisi lain, perusahaan tambang raksasa seperti Freeport-McMoRan terus menambang emas dan tembaga dari perut bumi Papua.
Di balik kontrak-kontrak itu, selalu ada tanda tangan militer, pejabat tinggi, dan elit ekonomi.
Mereka menjaga tambang bukan dengan hukum, tapi dengan senjata.
Dan selama tambang itu beroperasi, konflik menjadi tameng yang sempurna.
Konflik yang Menguntungkan
Di Papua, keamanan sering kali berarti keuntungan.
Ketika situasi aman, tak ada operasi.
Ketika konflik pecah, anggaran mengalir, pangkat naik, dan proyek pengamanan diperpanjang.
Seorang mantan pejabat gereja di Jayapura pernah berkata lirih,
“Selama Papua tidak damai, ada banyak orang di luar sini yang tetap kenyang.”
Kalimat itu sederhana tapi benar.
Konflik Papua bukan hanya tentang peluru, tapi tentang mata rantai ekonomi militer.
Dari penjualan senjata, proyek infrastruktur, hingga “dana stabilitas” yang disalurkan oleh perusahaan-perusahaan asing.
Semua berputar di sekitar satu hal: keuntungan dari ketidakstabilan.
Rakyat Menjadi Korban Abadi
Sementara para jenderal bermain strategi, rakyat menjadi korban.
Anak-anak kehilangan sekolah karena operasi militer.
Ibu-ibu lari ke hutan membawa bayi.
Pemuda-pemuda ditembak, dituduh separatis hanya karena bicara tentang kebenaran.
Konflik tidak lagi punya wajah musuh yang jelas.
Ia menjadi kabut — menutupi kebenaran dan menelan kehidupan.
Bagi sebagian besar rakyat Papua, rasa takut telah menjadi keseharian.
Namun di balik ketakutan itu, ada keberanian yang tetap menyala:
keberanian untuk bertanya, untuk mengingat, dan untuk menulis.
Akar yang Tak Pernah Dicabut
Masalah Papua tidak akan selesai selama negara hanya sibuk dengan pendekatan militer dan pembangunan infrastruktur.
Jalan aspal tidak bisa menutupi jalan darah yang sudah lama mengalir.
Gedung sekolah dan jembatan baru tidak bisa menghapus luka sejarah.
Yang dibutuhkan bukan proyek, tapi pengakuan kebenaran.
Bahwa rakyat Papua tidak pernah diberi kesempatan menentukan nasib sendiri.
Bahwa Pepera 1969 bukan keputusan bebas.
Bahwa semua kekerasan dan operasi militer yang terjadi adalah akibat dari kegagalan moral dan politik negara.
Selama kebenaran ini belum diakui, intelijen dan para jenderal akan terus punya alasan untuk memainkan peran lama mereka: menciptakan konflik demi kepentingan kekuasaan.
Suara yang Tak Pernah Padam
Kini, di tengah hutan, di antara kabut pegunungan, dan di dalam hati generasi muda Papua, suara itu masih hidup:
suara untuk kebenaran, suara untuk martabat, suara untuk kemerdekaan dari rasa takut.
Intelijen bisa membungkam orang, tapi tidak bisa membungkam sejarah.
Para jenderal bisa mengatur narasi, tapi tidak bisa menghapus kebenaran.
Papua akan terus berkisah—tentang luka, tentang perlawanan, dan tentang cinta pada tanah yang suci ini.
Karena pada akhirnya, kebenaran selalu menemukan jalannya, meski harus melewati rimba dan senjata.
***
📍 Rubrik: Opini
🕊️ Edisi: 20 Oktober 2025
🖋️ Penulis: W.Takapabii Doo