ZoyaPatel

Raja Ampat Terancam Tambang Nikel: Lingkungan, Ekowisata, dan Hak Adat Jadi Taruhannya

Mumbai


Raja Ampat, Papua Barat Daya — Kawasan konservasi dunia yang terkenal dengan keindahan alam bawah laut dan keanekaragaman hayati kini menghadapi ancaman serius. Aktivitas pertambangan nikel di sejumlah pulau kecil di wilayah Raja Ampat memicu gelombang penolakan dari masyarakat, aktivis lingkungan, hingga anggota parlemen.

Greenpeace: Hilirisasi Nikel Ancam Ekowisata dan Keanekaragaman Hayati

Lembaga lingkungan Greenpeace Indonesia menegaskan bahwa hilirisasi nikel yang tengah didorong pemerintah telah menimbulkan kerusakan ekologis di Raja Ampat. Kegiatan pertambangan berisiko merusak terumbu karang, mengganggu kehidupan biota laut, dan mempercepat penggundulan hutan yang menjadi rumah bagi satwa endemik Papua.

“Ini bukan sekadar soal tambang, tapi tentang menghancurkan masa depan kawasan konservasi dunia,” ujar juru bicara Greenpeace dalam keterangannya.

KLHK dan ESDM Akan Evaluasi Izin Tambang

Menanggapi laporan kerusakan lingkungan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan sedang melakukan peninjauan dan penyelidikan terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat. Sekretaris Utama KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, menyebut penegakan hukum lingkungan akan diprioritaskan jika ditemukan pelanggaran.

Sementara itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga mengaku akan memanggil seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk mengevaluasi kembali apakah aktivitas mereka sejalan dengan kepentingan daerah otonomi khusus Papua dan pelestarian alam.

Walhi: Ada 3 Izin Tambang di Pulau-Pulau Kecil

Data dari WALHI Papua menunjukkan bahwa setidaknya ada tiga izin tambang nikel yang diterbitkan di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, aktivitas tambang di wilayah tersebut dilarang karena bertentangan dengan fungsi konservasi dan pariwisata.

“Pulau kecil bukan tempat untuk tambang. Ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum,” kata Direktur WALHI Papua.

DPR RI Serukan Hentikan Eksploitasi

Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, mendesak pemerintah segera menghentikan seluruh aktivitas tambang di Raja Ampat. Ia menekankan bahwa wilayah tersebut telah diakui UNESCO sebagai Global Geopark dan tidak boleh dijadikan lokasi eksploitasi sumber daya mineral.

“Tidak ada kompromi. Tambang di Raja Ampat harus dihentikan sekarang juga,” tegas Novita dalam rapat kerja bersama KLHK dan ESDM.

Aksi Protes dan Penangkapan Aktivis

Gelombang penolakan juga datang dari masyarakat sipil dan aktivis lingkungan. Greenpeace melakukan aksi damai menentang pertambangan di depan kantor kementerian terkait, namun sejumlah aktivis ditangkap oleh aparat keamanan. Peristiwa ini menuai kritik keras dari publik dan dinilai sebagai upaya membungkam suara rakyat.

Pulau Gag: Jantung Pertambangan di Raja Ampat

Pulau Gag menjadi pusat perhatian karena merupakan lokasi utama pertambangan nikel di kawasan tersebut. Dikelola oleh PT Gag Nikel, anak perusahaan Antam, tambang di Pulau Gag telah aktif kembali sejak 2017 meskipun sebelumnya dihentikan karena berada di kawasan hutan lindung.

Penutup: Raja Ampat di Persimpangan Jalan

Raja Ampat kini berada di persimpangan antara pelestarian alam dan tekanan eksploitasi sumber daya. Di tengah gencarnya program hilirisasi nasional, pemerintah dihadapkan pada dilema besar: melindungi warisan alam dunia atau mengorbankannya demi ambisi ekonomi.

Masyarakat Papua, aktivis, dan komunitas internasional terus menyerukan agar Raja Ampat diselamatkan sebelum terlambat. Sebab sekali rusak, keindahan dan kekayaan ekosistem Raja Ampat tak akan bisa dikembalikan lagi.

Reporter: [W.Takapabii Doo]
Tanggal: 4 Juni 2025
Editor: [Opsional]
Sumber: Greenpeace Indonesia, WALHI Papua, KLHK, ESDM, DPR RI, CNN Indonesia, Tempo, Detik, Jawapos, Wikipedia

Ahmedabad