Lilin Kecil di Intan Jaya
Mumbai
Ahmedabad
Malam di Intan Jaya tak lagi hanya diselimuti dingin pegunungan, tapi juga gemetar ketakutan. Dentuman senjata dan jeritan kehilangan telah menjadi irama gelap yang menari bersama kabut. Namun di sebuah gubuk kecil di lereng Sugapa, masih ada satu cahaya—meski kecil—yang menolak padam.
Namanya Mikaela, gadis kecil berusia delapan tahun. Sejak ayahnya hilang saat mencari bahan makanan di hutan, dan ibunya terkena peluru nyasar ketika konflik meletus di kampung mereka, Mikaela tinggal bersama neneknya. Mereka hanya memiliki satu hal yang mereka jaga bersama: sebatang lilin kecil dan doa malam yang tak pernah mereka lewatkan.
Setiap malam, ketika suara tembakan menggema dari kejauhan, Mikaela menyalakan lilin itu. Nyala kuningnya gemetar, kecil, nyaris kalah oleh angin gunung. Tapi di hadapan lilin itu, nenek dan cucu selalu berdoa:
> "Tuhan, jaga kami di lembah ini. Jangan biarkan kami kehilangan harapan seperti cahaya lilin ini."
Mereka tak punya banyak. Tidak sekolah, tidak perlindungan, bahkan tidak ada kabar kapan perang ini selesai. Tapi mereka masih punya satu sama lain. Dan lilin kecil itu—yang dinyalakan dengan minyak goreng bekas dan sumbu dari kain lusuh—telah menjadi simbol keberanian paling sunyi di tanah yang porak-poranda oleh perebutan kekuasaan dan emas.
Suatu malam, terdengar langkah-langkah berat di luar. Mikaela menggigil, tapi nenek hanya meletakkan tangannya di kepala cucunya, membisikkan doa. Saat pintu terbuka, sekelompok pasukan masuk. Salah satu dari mereka melihat lilin kecil itu menyala di sudut altar kayu.
“Kenapa kalian menyalakan lilin?” tanya seorang serdadu.
Nenek menjawab tenang, “Karena cahaya kecil bisa mengusir kegelapan yang paling pekat.”
Tak ada jawaban. Tapi malam itu, serdadu itu tak membakar rumah mereka. Ia hanya menatap lilin itu lama, lalu pergi diam-diam.
Dan lilin itu, tetap menyala. Meskipun kecil. Meskipun rapuh. Tapi cahaya kecil itulah—bersama doa—yang menjaga mereka dari lenyap sepenuhnya.
***
W. Takapabii Doo